Jumat, 28 Mei 2010

Contoh kasus anak special need “Menyekolahkan si anak spesial” bag:5

Itulah juga pertimbangan Aprilia, ibu dari Davina (4), ketika memilih menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak autis. “Saya lihat perkembangan anak juga akan lebih optimal karena terapi bisa dilakukan sambil sekolah. Guru-gurunya juga mempunyai keahlian sebagai terapis,” katanya.
Sebaliknya di sekolah umum, guru seringkali minim atau tak punya pengalaman sama sekali menangani anak-anak ’spesial’ ini. Bukan itu saja, guru juga sulit memberikan perhatian khusus kepada si anak autis karena rasio jumlah anak dan guru dalam satu kelas kurang ideal. Di sekolah umum, satu kelas biasanya berisi lebih dari 20 anak. Bandingkan dengan di sekolah khusus anak autis, di mana satu guru rata-rata menangani tiga anak. “Lebih dari itu, pasti sudah keteteran,” kata Ita.
Selain itu, menurut Ita, “Jangankan untuk anak autis, untuk anak normal pun kurikulum pendidikan nasional saat ini sudah lumayan berat.” Pantaslah kalau anak autis yang bersekolah di sekolah umum biasanya jadi lebih tertatih-tatih. Karena itu, menurut Ita, metode belajar di sekolah autis Mandiga dibatasinya hanya pada hal-hal yang bersifat aplikatif. “Mereka diajari membaca, menulis, berhitung. Tapi yang lain-lain, kira-kira terpakai atau tidak? Kalau tidak, ya lebih baik tidak usah,” katanya.
Cara mengajar pun tidak bisa selalu sama untuk setiap anak. Untuk mengajarkan sebuah kosa kata, misalnya, guru anak autis tak jarang harus putar otak untuk bisa menarik perhatian mereka. Tak jarang mereka harus memulainya dari sesuatu yang menarik minat anak. Contoh bila si anak suka oli, maka akan lebih efektif kalau dia mulai belajar dari kata “oli”, sementara bila dia suka mobil, ya akan lebih efektif untuk mulai mengajari dia dari kata “mobil”.

http://www.parenting.co.id/article/article_detail.asp?catid=2&id=10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar